Monday, November 28, 2016

hijab saya: petanda yang melebihi penandanya

 "Galuh pake hijab sekarang?" 
"Errr... enggak.. belum!" 
Iya karena yang saya pakai itu bukan hijab, tapi cuma kain yang dipake buat tutupin kepala. Tapi untuk selanjutnya, kita sebut saja itu hijab. Udah ampir 4 bulan saya pakai hijab. Sebelumnya, setahun terakhir saya lepas-pasang hijab. Biasanya dipakai saat weekend. Masalahnya, kantor saya saat itu ga ngebolehin pegawainya untuk pakai hijab. Dan sebagai newbie dalam dunia perhijaban, saya memang merasa perlu untuk trial and error. (Baca: pake, terus lepas lagi). 

Banyak yang nanya apakah saya pakai hijab setelah menikah alias karena disuruh suami? Jawabannya, enggak. Saya sendiri memang pingin pakai. Dari awal, orang-orang di inner circle saya engga ada yang pernah nyuruh saya pakai jilbab. Baik bapak saya, atau calon suami saya waktu itu yang notabene level keimanannya jauh di atas saya. Hahaha. Pakai jilbab itu berat, jadi kalo cuma karena disuruh orang lain, beratnya bisa nambah dua kali lipat. I did it for myself, simply just because I wanted it to. 

Kenapa saya bilang berat dan kenapa saya baru (belajar) pakai sekarang?


Yang jelas bukan karena saya ga percaya Al-Quran. Tapi sederhananya ya, karena saya bego dan pemalas. Saya tahu ada perintahnya untuk pakai hijab, tapi as always, pertanyaan "kenapa harus pakai hijab?" ga bisa dijawab oleh jawaban "karena ada ayatnya di Al-Quran". Karena kemudian akan muncul pertanyaan berikutnya di kepala saya, "Tapi.. kenapa Allah nyuruh begitu? Alasannya apa?" Biar tidak diganggu? Kan aku bisa aja belajar taekwondo sampai ban item. Atau sekalian aja kemana-mana pake baju karate. Ga ada yang berani ganggu. (Paling dibilang gila, sih). Apalagi profesi saya dulu sering sekali mengharuskan saya pergi blusukan ke tempat-tempat di pelosok yang panas. Membayangkan saya pakai jilbab saja sudah gerah. 

Kedua, kesimpulan yang saya tangkap dari berbagai literatur, hijab yang benar itu ya esensinya menutupi lekuk tubuh. Did you know that the confliction of hijab meaning with the secular word headscarf is somehow misleading? Hijab literally means "barrier or partition" in Arabic. It also means "hiding" or "obstructing" or "isolating" someone or something. It is never used in the Quran to mean headscarf.

So, menurut saya, pointnya itu bukan di rambut, tapi lekuk tubuh. Betul, rambut harus ditutupi, tapi tujuan utamanya bukan sekadar menutupi rambut. Saya ogah jadi hijaber cingkrang, yang jilbabnya ngatung membelit leher sampai kaya orang kecekek atau yang pakai jilbab tapi pinggulnya masih ngebentuk, pantat masih kecetak. Pake jilbab tapi kakinya masih leleran kemana-mana. Kalau saya mau berjilbab, then i have to do it the right way! Kalau engga, mending ga usah sekalian! 

Ga heran, di sini kalau ada yang mau belajar berhijab, yang pertama dicoba tuh pake kerudung dulu. Padahal, kalo menurut saya, para fashionista yang sekarang lagi demen pake warna monochrome dengan cutting edgy yang super loose gombrang gitu lebih mendekati konsep hijab yang sebenarnya. Makanya, kalau dibilang saya pake hijab? No, sebenarnya saya belum berhijab.

Ketiga, mungkin memang level keimanan saya belum sampai di tahap melakukan sesuatu "untuk dapat pahala". Lagian, kayanya kepala saya ga muat deh kalo mau ibadah aja harus itung-itungan pahala. Saya percaya sistem dan algoritma pahala dan dosa itu memang ada, tapi yang saya pahami, aturan-aturan di Al-Quran itu dibuat bukan sekadar untuk dapet pahala, tapi ya juga untuk membuat kepala kita tetap waras. 

Buat saya, ini seharusnya jadi way of life supaya saya ga jadi orang baperan, terus jadi gila dan tiap hari merutuk, "Hidup ini ga adil! Orang-orang ini brengsek!". Supaya saya bisa jadi orang yang sabar dan tahu bahwa semua sudah ada yang atur, saya tinggal jalanin aturan mainnya dengan baik dan benar. Bukan melulu tentang 'how to get a reward'. I repeat, to me, the obligations of hijab are clear, explicit and detailed when i look at both the Quran and Sunnah. In conclusion, saya yakin semua aturan di Al-Quran itu memang ada manfaatnya untuk saya, termasuk aturan pakai hijab. Tapi, kenapa atuh Rasul aku tuh harus pakai hijab?

Pada suatu hari saya pergi menonton final sepak bola di GBK. Saat itu saya pake hijab. Di tengah riuh padatnya kaum laki-laki yang setengah brutal, entah gimana, i feel so comfortable covered in my hijab. It's like i am invisible. Ga ada yang ganggu saya, ga ada yang suit-suitin kaya biasanya. Every man is making space towards me! Eh, ada gunanya juga nih pakai hijab!

Tapi ya.. namanya orang bego, ya kaya gitu. Selain bekerja kantoran, saya juga atlet. Pakai jilbab cingkrang buat latihan aja saya kepanasan dan jadi ga bisa main dengan fokus. Malah ribet sendiri sama jilbabnya. Akhirnya apa? Saya malah pake buff atau topi buat orang renang. Hukss. Yang penting rambut ketutup lah, meskipun leher leleran kemana-mana. Kan, gendeng?

Di sisi lain, saya sering baca artikel yang menggaungkan kebebasan perempuan untuk berpakaian, which i think its very related to hijab. Ya tapi kalau dipikir-pikir lagi, if nobody has the right to see anything of me that I don't give permission to see, then it is my right to choose who gets to see the best of me, right? Bukankah itu hakekatnya kebebasan level tertinggi dalam berpakaian? Feminism at the most radical level. Terus, jujurnya sih nih ya, kalau banyak orang bilang, "Eh.. kamu makin cantik deh pake hijab.." Nah.. kalau saya engga tuh, malah makin jelek. Jadi makin tua gitu mukanya. Hahaha...

Anyway, so about 4 months ago i decided to learn how to wear it. Masih belajar, karena belum pakai hijab beneran. Kata suami saya hijab yang saya jabarkan itu hijab buat senior kelas atas, saya sebagai pendatang baru dan masih begok, ya pake aja dulu yang bisa dipake, nanti bertahap. Gitu katanya. Dan alasan terakhir kenapa saya bilang pakai hijab itu berat?

Karena saya lebih paham buku ilmu komunikasi dibanding buku-buku sunnah, maka alasan terberat ini saya simpulkan dari pemahaman otak saya yang ilmunya cuma segede biji kacang. Kalo kata Bang Roland Barthes yang berguru sama Bang Saussure, dalam konsep semiotika, suatu makna akan muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara 'petanda' (signified) dan penanda (signifier). Makna/tanda yang muncul ini adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda dan sebuah ide atau petanda. Sederhananya...

Now I''ll carry the name of Islam everywhere i go. 

I may look invisible in front of man, but a woman wearing hijab becomes a very visible sign of Islam, profoundly and clearly. Hijab, can be a symbol of piety, and it should be a sign of great inner strength and fortitude. Once im wearing the hijab, i have this "MUSLIM" sign stamped tremendously solid in my forehead. Ketika antre ATM, ketika makan di restoran, ketika naik gunung, ketika bekerja, ketika lagi gosipan sama teman, ketika saya bikin status facebook yang aneh-aneh, atau ketika lagi berantem sama sopir Kopaja yang resek, i carry Islam with me, and that is one hell of a duty! Yang jelas, saya udah ga bisa lagi makan di warteg dengan gaya kaki naik sebelah.

Pagi ini saya sedang siap-siap berangkat ke kantor. Pake hijab ungu tua, kemeja pink, celana hitam, ngatung dikit, dan sepatu Camper dengan hak 3 cm. Matching. Ok. Biar cakep kalau mau #OOTD. But as i catch a glimpse of myself in the mirror right before i'm heading to the office, a thoughts suddenly popped out in my head. Pakaian saya mengerdilkan apa yang seharusnya direpresentasikannya; perempuan muslim yang (seharusnya) saleh dan sederhana. 

***

2 comments:

  1. Semoga makin bener pake hijabnya mba. Saya juga lagi belajar :)

    ReplyDelete