Wednesday, May 9, 2012

catatan random nomor tiga puluh empat


"Binatang itu bicara, makan -- tapi tak mengerti dirinya. Dan aku begitu juga.." - Pramoedya AT

Pada suatu hari di sebuah sekolah dasar, ibu guru berbicara lantang di depan kelas. "Jadi anak-anak, negara kita ini adalah negara agraris. Kenapa? Karena negara agraris adalah negara yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani",  begitu katanya. Seorang murid perempuan mengangguk-ngangguk tanda mengerti. Lalu sepulang sekolah dia menonton televisi dan melihat iklan rokok Bentoel. Digambarkan dalam iklan tersebut, hamparan sawah hijau yang menggugah mata, subur, makmur, oh ini dia yang dimaksud bu guru, pikirnya.

Diseberang komplek rumah si anak perempuan bodoh adalah hamparan sawah memanjang dipisahkan oleh sungai berwarna coklat. Si anak perempuan seringkali bermain kesitu walaupun sering dimarahi oleh orangtuanya. Apa pasal? Setiap si anak perempuan pulang sehabis bermain ke sawah, tubuhnya bau tahik kerbau. Tentu saja, karena si anak perempuan memang bergumul dengan tahik kerbau dan lumpur. Lempar-lemparan tahik kerbau dengan anak kampung adalah sesuatu yang seru dan menyenangkan buat si anak perempuan. Sesi menyenangkan selanjutnya adalah makan siang dari rantang petani dan minum teh pahit dari poci berbau khas.  Entah kenapa, nafsu makan si anak perempuan selalu bertambah setiap ikut makan bersama para petani di tengah sawah. Sejak saat itu setiap ibu guru bertanya tentang cita-cita pada murid-muridnya, di tengah jawaban dokter, pilot dan polisi, si anak perempuan selalu menjawab dengan pasti, "Saya mau jadi petani, bu!"

Tahun berlalu. Tiga  tahun kemudian barulah si anak perempuan menyadari, sawah di seberang komplek rumahnya sudah berubah jadi bangunan ruko. Lalu dia mengamati lagi, hamparan sawah di pinggiran kota pun sedikit demi sedikit mulai tertutup triplex, seperti hendak dibangun sesuatu. Entah apa. "Kemanakah para petani?" pikir si anak perempuan. Tapi kehidupan baru si anak perempuan terus berjalan dan dia menyenanginya. Dia mulai belajar bermain piano lalu berangan-angan, suatu saat nanti dia akan sekolah piano di Jerman, menjadi maestro dan bergabung dengan orkestra paling tenar sepanjang masa. Oleh karena itu dia pun tak suka lagi sekolah dan mengganti cita-citanya menjadi seorang pianist.

Setiap ke sekolah yang dibawanya adalah majalah Donal Bebek dan tabloid Fantasi berbagai macam edisi. Tak ada satu pun buku pelajaran di dalam tasnya. Terang saja gurunya berang. Tak pelak dipanggilnya orangtua si anak perempuan. Orangtuanya malu bukan kepalang. Habislah dimarahi si anak perempuan sesampainya di rumah. Selain sering berkelahi, di sekolah si anak perempuan juga tak pernah bawa buku pelajaran. Padahal tas ranselnya selalu penuh bak orang mau kemping ke gunung lima bulan.  Alasannya simple. "Kan bisa pinjam ke teman, Ma? Semua anak bawa buku yang sama, kalo tabloid Fantasi tak ada satu pun yang bawa." jawab si anak perempuan. Guru pun jadi kesal oleh kelakuan si anak perempuan, tak ada satu pun murid yang boleh duduk sebangku dengan dia, supaya tak bisa berbagi buku pelajaran.

Dua puluh tahun berlalu, si anak perempuan akhirnya bekerja menjadi seorang editor di sebuah majalah gaya hidup di ibukota. Si anak perempuan bodoh sekarang sering termanggu memikirkan pekerjaannya. Dia tak suka menulis berita pesanan. Dia tidak suka disuruh duduk diam seharian penuh hingga membuat kakinya kram. Si perempuan bodoh mulai tertekan. Anak jaman sekarang menyebutnya galau. Sekarang, bila ditanya oleh teman-temannya mau jadi apa, dia selalu menjawab singkat. "Ingin jadi isteri nelayan." dan semua orang.. entah kenapa menganggapnya bercanda. 

Bukan ritme kerja yang stagnan atau terlalu signifikan dan serbasibuk yang dicarinya. Si anak perempuan mulai kebingungan. Dia mau jadi apa? Dari sekian banyak profesi yang menggoda batinnya, tak ada satupun yang berhasil diraihnya. Jadi pesulap, pianist, penari balet, pesilat hingga yang paling lama bercokol di kepalanya, jadi petani. Anak perempuan lalu mengadu kepada ibunya. Ingin pulang dan berdiam diri dulu sebentar, tapi ibunya tak setuju. Diancamnya akan dinikahkan dengan lelaki pilihan ibunya. Si anak perempuan bergidik, ketakutan dan mengurungkan niat pulang ke kampung halaman.  

Ditengah pergolakan batinnya, si perempuan kian merasa nelangsa. Berdoa semoga mendapat jalan untuk pekerjaan yang lebih cocok dengan isi kepalanya. Sepanjang hari di kantornya, si anak perempuan terdiam memandangi deret tulisan yang tak mengena di hatinya. Oh, sungguh kasihan sekali nasib si anak perempuan. Dia berubah menjadi anak perempuan yang cengeng dan seringkali meratapi nasib, padahal kalau dipikir-pikir, sungguh nasibnya tak buruk-buruk amat. Yang jelas, satu hal yang masih sering hinggap di kepalanya, kalau sawah-sawah itu menghilang, kemana perginya para petani? Dimanakah mereka membuka rantangnya? Dan tahik kerbau itu.. apakah masih sama bunyinya ketika menemplok di punggung bagian belakang?

 Radio di bulan Mei selalu menggaungkan lagu sendu.
Mereduksi euforia, membuat hati ini mengkeret melayu.  

ps. cerita  diatas hanyalah fiksi belaka, jika ada kesamaan, baik tokoh dan kejadian semua adalah kesengajaan semata. :)

...